Kompas Kampus


Opini Free

“Si Butet Yang Tak Punya Marga”
    Sore itu menjadi satu sore yang special buat ku bahkan mungkin buat beberapa temanku yang lain, hari itu Senin 19 September 2011 aku memulai aktipitas baru dalam perjalanan hidupku, suatu rencana yang sempat tertunda lama karena berbagai alasan, senin sore itu aku memulai aktipitas baruku sebagai salah satu mahasiswa di fakultas Ilmu Komunikasi di Universitas BSI bandung, biasa namanya sesuatu yang baru dan sudah sangat didambakan sejak lama aku mengawali aktipitas baruku itu dengan penuh semangat.
    Hari pertama ku kuliah diawali dengan mata kuliah Dasar-Dasar Jurnalistik mulai nya jam 5-00 sore di ruangan 302 lantai 3 gedung perkuliahan dikampus kami, pada saat itu pertemuan pertama kami diawali dengan perkenalan masing-masing mahasiswa, dihari pertama itu jumlah mahasiswa baru yang hadir belum terlalu banyak karena beberapa teman kami yang lain pada saat itu belum masuk (memulai perkuliahan) dengan berbagai alasan, dan salah satunya adalah “Melati Fauziah Hanum”.
    Teman kami yang satu ini baru masuk pada tgl 3 oktober 2011 (dipertemuan minggu ketiga), dari logat bicaranya jelas sangat terlihat asal gadis hitam manis ini, ya seperti kebanyakan saudara-saudara kita yang berasal dari Medan (Batak) logat dan aksen ini jelas nampak pada aksen dia ketika berbicara, dan memang benar walaupun dari nama terkesan bukan nama khas orang batak teman kami yang satu ini memang mempunyai darah batak, dikelas kami memang terdapat beberapa teman kami yang lain yang berasal dari daerah (suku) batak tetapi dari namanya saja memang sudah sangat identik seperti Cyntia Tarigan & Ira Leliani Barus, ya sepeti yang sudah kita ketahui pada umumnya nama saudara kita yang berasal dari suku batak biasanya diujung nama selalu ada nama marga yang mengikutinya.
    Pada suatu kesempatan aku pernah bebincang langsung dengan gadis hitam manis ini, saat itu ketika kami pulang kuliah kebetulan pada saat itu dia tidak dijemput & aku yang kebetulan  selalu membawa motor ketika kuliah sempat mengantarkan dia pulang kerumahnya, dari sekian banyak perbincangan kami aku jadi tahu beberapa hal tentang dia, gadis kelahiran Jakarta 03 Maret 1991 ini lahir dari ibu yang berdarah batak (Medan) dan ayah yang berdarah melayu (Padang), dan karena itulah dibelakang nama butet yang satu ini tidak ada marga batak, karena menurut peraturan suku marga itu diturunkan oleh sang ayah, dan sang ayah yang nota bene bukan berasal dari suku batak jelas tidak punya hak memakai marga batak, akan tetapi (lanjut Melati) sebenarnya suku sang ayah yang berasal dari Padangpun mempunyai marga walaupun tentu berbeda dengan marga batak, akan tetapi marga sang ayah hanya bisa diturunkan pada anak laki-laki dan hanya dipakai pada acara-acara adat saja.
    Didalam keluarga besarnya sendiri sebenarnya budaya dan adat batak lebih dominan dibanding dengan budaya dan adat Padang, karena kebetulan sang ayahpun sebenarnya lahir di Medan hanya saja bapak & ibu sang ayah asli dari Padang, sedangkan disisi lain marga sang ibu adalah “Lubis” itu pun diperoleh dari silsilah sang nenek (ibunya ibu Melati) karena kakeknya Melati sendiri sebenarnya bukan orang Batak (Medan) melainkan dari Menado yang kemudian memilih keluar dari sukunya dan menikah dengan neneknya, hanya saja sang nenek sempat berpesan kepada Melati, kalau seandainya ada yang nanya tentang marga maka sebutlah marga nya Lubis & si nenekpun sempat menerangkan tentang silsilah keluarga (mengenai marga), bahkan ditambahkan oleh Melati, neneknya sempat menunjukan sebuah buku tua yang berisi silsilah keluarga (marga) karena walaupun pada kenyataannya marga Melati tidak terlalu terlihat jelas namun tetap aturan suku harus tetap dipenuhi terutama dalam hal memilih jodoh, karena dalam suku batak orang yang satu marga tidak boleh menikah, karena secara silsilah mereka masih bersaudara.
    Menurutku Melati & keluarga adalah salah satu contoh (gambaran) bagaimana adat telah begitu tercampur dalam kehidupan modern dewasa ini, terlepas dari penting atau tidaknya hal itu yang jelas proses seperti ini pasti akan terjadi, mungkin tidak hanya dikeluarga Melati tapi bisa saja terdapat kasus-kasus yang sama dikeluarga lain, dan kalaulah pada kenyataannya sudah seperti ini penting atau tidak pentingnya sebuah marga atau silsilah suku dan adat menjadi sesuatu hal yang relatip, karena masing-masing orang tentu mempunyai alas an yang sangat mendasar atas pendapatnya.

Ditulis oleh : Supriatna. S
Nim             : 45110042
Fak              : FIKOM
UNIVERSITAS BSI BANDUNG